Dengan adanya banyak media sosial, arena komunikasi semakin terbuka lebar. Kita dapat mengunggah foto, promosi bisnis, mencari berita, video call dan lain sebagainya. Saya pun cukup sering menggantungkan hidup dengan kemajuan teknologi bertajuk internet ini. Gadget saya sih biasa. Yang jelas cukup mumpuni untuk bekerja dan mencari berita.

Ternyata, kegunaan ini makin adiktif. Bangun, doa pagi, cek WhatsApp. Perjalanan ke kampus atau kantor sambil buka Twitter dan Path. Di rumah pun juga begitu. Tak jarang saya turut membawa HP ke meja makan atau kamar mandi. Bahkan, di acara silahturami keluarga, usai cipika-cipiki sebentar dengan Opa, Oma, Eyang, atau saudara-saudara, saya pasti kembali berkutat dengan HP.

Pernah suatu hari saya sedang berbincang-bincang dengan sahabat. Meski HP sudah ditaruh di atas meja, saya terus melirik dengan berbagai pikiran: “Wah, lampu notif nyala, pasti ada mention“, “kira-kira ada chat dari siapa ya?” dan lain-lain. Akibatnya, kami berdua jadi kurang fokus mengobrol karena saya tidak terlalu menyimak pembicaraan dia. Sampai pada akhirnya dia nyeletuk, “tenang Ke, HP lu itu nggak punya kaki, jadi nggak bakal lari.” Saya cuma ketawa garing.

Kalau karena social networking pikiran kita kerap terbagi, di mana fungsi mereka yang membantu komunikasi? Justru jadi berpotensi mengabaikan orang-orang terdekat lantaran lebih sering fokus pada situs jejaring sosial. Terlebih, media tersebut kini terkadang bukan menjadi suatu jembatan komunikasi, tetapi menunjukkan eksistensi diri. Untuk fungsi yang saya sebut terakhir tadi, saya akan mengambil Path sebagai contoh. Buat apa check-in kalau tidak mau menunjukkan tempat kita berada? Karena apa? Karena iseng atau ingin dilihat? Nggak munafik, saya pun juga sering memakai aplikasi Path. Biasanya saya check-in saat berlibur, atau saat sedang di bioskop, kantor, hotel, restoran, atau acara-acara besar. Karena apa? Iya itu tadi, karena pengen dilihat. Penting? Tentu tidak.

Kembali ke topik, fungsi media sosial memang seakan keluar dari jalur utamanya sebagai penghubung kita untuk bersosialisasi. Alih-alih mempererat hubungan dengan sesama, saya cenderung dipenuhi bulir-bulir pikiran seperti: “Berapa orang yang udah lihat status gue ya?” atau “siapa yang kira-kira udah ngeritwit twit gue?” dan lain sebagainya.

Nggak, saya nggak lebay. Coba. Ketika asik berkutat dengan media sosial, seberapa sering kalian tidak fokus kalau diajak ngobrol ringan dan berdiskusi sama orang tua atau teman atau pacar? Mungkin memang sepele, dan kita bisa berpikir “ya udah nanti-nanti aja, toh mereka kan ada di inner-circle gue”.

If that so, do you think social networking really makes you closer with your beloved ones…..set you all apart slowly?

Tulisan ini khusus dibuat untuk menampar diri saya sendiri.

Leave a comment