Time flies! Nggak kerasa udah ngelewatin satu tahun sejak lulus kuliah! Lumayan bikin senyum-senyum sendiri. Saya jadi langsung ingat beberapa pesan yang dulu saya terima pas resmi jadi maba tahun 2009.
“Welcome to the jungle, Keke! Harus kuat, harus semangat!”
“Enjoy ya, tapi jangan kelamaan, kamu harus cepat lulus!”
Nggak butuh waktu lama buat saya memahami keabsahan pesan-pesan tersebut. Satu hal yang langsung saya pelajari saat itu adalah hal berikut: seorang guru killer mungkin bisa membuatmu takut, tapi dosen selalu punya kekuasaan absolut. *backsound musik seram*
Sistem sekolah dan kuliah memang sama sekali nggak sama. Beda aturan, beda pola, beda budaya. Kemampuan beradaptasi dalam kehidupan universitas juga lebih teruji ketimbang waktu sekolah. Saya tertantang untuk lebih membaur sesering mungkin. Konon teorinya, semakin banyak teman dan kenalan, maka bakal semakin terasa nyaman. Walau sebenernya kadang lebih enak sendirian. Saya pun belajar banyak hal, termasuk pengetahuan tak tertulis bahwa setiap mahasiswa/i ternyata punya kebebasan untuk cabut kelas kapan saja selama jatah bolos itu masih ada.
Selebihnya, dunia kuliah ya memang kayak hutan. Nggak kenal belas kasihan. Mulai dari tugas berjubel yang harus diantisipasi, kewajiban merancang beragam presentasi, serta momen diomelin dosen yang tak bisa dihindari. Poin-poin itulah yang terkadang membuat saya tak sabar ingin keluar dari rantai ini. Saya mau bebas. Saya mau lepas.
Perkuliahan ini pun akhirnya terlewati. Saya resmi menyelesaikan semua mata kuliah dan dinyatakan lulus sekitar Desember 2013, dan diwisuda menjadi sarjana awal 2014 pada usia 21 tahun.
Lulus, lulus, dan lulus. Sebuah momen magis yang mampu membuat saya terbangun dari tidur panjang untuk siap keluar dari hutan. Udah nggak sabar!
Saatnya buat saya pakai kebaya.
Menyalami rektor dengan senyum gembira.
Turun dari panggung wisuda.
Menenteng bangga jubah sarjana. Lempar toga. Terus foto-foto pula.
Dapat banyak kiriman bunga. Cokelat juga, bahkan beberapa kasih boneka.
…..
Lalu apa? Sudah? Itu aja?
Saya termangu.
Tak berapa lama setelah lolos dari hutan perkuliahan rupanya saya malah megap-megap. Tak ada lagi jadwal kelas rutin sebagai pegangan, atau aturan para dosen sebagai pedoman. Aneh. Kebebasan yang selama ini saya impikan dengan congkak malah menjadi bumerang. Saya bergidik ngeri ketika menyadari bahwa dunia telah berubah menjadi wadah yang amat sangat luas selepas jadi sarjana. Ternyata saya terlanjur nyaman dengan rutinitas kuliah yang terstruktur.
Saya sudah bebas, tapi tidak tahu di mana harus menancapkan jangkar. Apakah ini berarti jauh lebih baik terjerat di hutan daripada harus memulai kehidupan sendiri? Apakah ini Stockholm Syndrome versi pribadi yang menjadi nyata? Saya mulai kepikiran banyak hal.
Rencana awal untuk meneruskan karier sebagai jurnalis sepak bola yang sudah saya geluti dari tahun terakhir kuliah rupanya harus terhenti karena suatu hal. Saya sempat bahas di postingan ini. Siapa tahu mau baca. *langsung mellow*
Akhirnya saya pun menyusun rencana lain dengan dua opsi: 1. Ambil S2 ke luar negeri dari beasiswa 2. Langsung cari karier lain, kalau perlu di luar Jakarta
Berhubung sejak semester tiga sudah harus cari uang sendiri sekaligus bantu biayain kuliah adik saya, rencana nomor satu sudah pasti nanti-nanti aja. Opsi nomor dua pun (terpaksa) menjadi favorit. Kenapa di luar Jakarta? Ya, jujur saya butuh refreshing dan petualangan baru setelah rencana awal harus pupus. Lagian, mumpung masih muda. Saya yang selama ini selalu punya to-do-list dan cukup terstruktur, akhirnya mencoba untuk lebih fleksibel dan menikmati hidup.
Setelah memilih opsi kedua, saya juga harus dihadapkan dengan kompleksitas relasi antara kegemaran dan profesi. Saya jadi mikir karena kok kayaknya terlalu banyak punya hobi. Menulis, baca, sepak bola, main musik, nonton film ke bioskop, dan traveling sendiri. Hingga muncul lagi satu pertanyaan:
“Mampu nggak gue kerja tanpa harus membuat hobi-hobi gue terbengkalai?”
Jawabannya ternyata bisa. Krisis pasca kelulusan yang hampir setahun membelenggu ini justru berhasil memproses saya untuk berpikir jernih dan membangkitkan motivasi internal. Keputusan spontan untuk pindah berkarier ke Bali (which is another long story to tell but I don’t know when) akhirnya saya jalani. Menggeluti profesi anyar ini rupanya tak membuat saya lepas begitu saja dari hobi-hobi yang lain. Puji Tuhan, masih bisa terus menulis lewat diari dan blog pribadi, masih bisa menikmati siaran sepak bola dan main futsal pada waktu senggang, dan saya juga tetap bisa traveling di sini. Tapi nggak tahu ya kalau nanti-nanti.
Curhat colongan di atas sebenarnya hanya berasal dari niat kecil saya untuk berbagi renungan dan pengalaman yang saya hadapi sehabis lulus kuliah, bagaimana terkadang kehidupan tidak berjalan sesuai rencana. Apa yang kita mau malah bisa jadi yang bukan kita butuh. Bagi kalian yang sedang di ambang kelulusan dari perguruan tinggi, suatu hal yang lumrah jika nanti orang tua atau komunitas sekitar pasti langsung ‘menyerang’ dengan pertanyaan dan/atau pernyataan seperti: “abis kuliah mau ngapain?”, “kapan mau cari kerja?”, “jangan jadi pengangguran!”, “mau lamar kerja di perusahaan mana?” dll. Yang jelas, jangan dibawa pusing dulu. Nanti-nanti aja stresnya haha.
Buat saya, kuliah adalah fase terakhir di mana hidup saya di-outlined. Setelah itu, saya yang menentukan, dan saya juga yang bertanggung jawab. Nggak apa-apa bingung di awal, itu artinya kita lagi proses mengambil keputusan. Pokoknya jangan membatasi diri. Jangan membatasi kesempatan. Takdir setiap orang mungkin sudah ditentukan, tapi pilihan tetap ada di tangan kita. René Descartes bilang je pense donc je suis (cogito ergo sum) yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Saya pribadi lebih merasa cocok dengan kalimat opto ergo sum, aku memilih maka aku ada. Kalian gimana?





Leave a comment