Dari kecil saya adalah tipe orang yang gemar bertanya, biasanya dalam hati. Mata ini seakan membelalak besar setiap ada hal yang nggak saya mengerti. Not being able to understand is irritating. Terlalu banyak pertanyaan dalam otak saya yang bermula dari kata ‘kenapa’.
Kenapa Adolf Hitler batal jadi seniman dan malah masuk dunia politik terus bikin perang dunia? Kenapa catur disebut olahraga? Kenapa pi harus 3,14159? Kenapa Leonardo DiCaprio nggak kenal saya?
Itu masih contoh pertanyaan acak sederhana. Sementara pelbagai pertanyaan kompleks yang menumpuk di kepala tanpa jawaban jadinya malah membuat jengkel. Entah apakah itu karunia penasaran berlebih atau memang terlahir dengan hobi menuntut jawaban dari segala pertanyaan. Entahlah.
Sampai akhirnya rasa penasaran saya itu terkadang berubah menjadi bingung. Bingung yang kadang-kadang keki sehingga saya suka menghibur diri: being confused is not totally a bad thing because it means our brain is working. Saya menelaah kebingungan itu dan berusaha perlahan menerjemahkannya menjadi sebuah jawaban. Tapi, ada kalanya yang membuat saya bingung itu nggak mudah dideteksi dengan logika.
Ada beberapa pertanyaan yang nggak bisa sekadar ditelusuri nalar. Belum terjawab, sudah muncul lebih dulu rasa lelah dari diri saya untuk merasionalkan segala hal. Apakah ini pertanda harus dijawab pakai perasaan?
Pada suatu waktu, saya menemukan bahwa keribetan diri sendiri ini ternyata bisa diselesaikan dengan menulis. Hah? Kok bisa? Tuh kan, nanya lagi.
Ya, menulis, walau banyak tulisan saya cuma berakhir disimpen di draft atau ngumpet dalam buku catatan, kegundahan akan sesuatu yang nggak saya mengerti seakan bisa terlepas dengan menulis. Mau jadinya puisi, cerpen, esai, sampai tulisan abstrak nggak jelas, pokoknya nulis. Mungkin nggak otomatis langsung dapat solusi, tapi setidaknya menulis membuat saya lega daripada mendem bingung sendiri.
Lega karena kebingungan saya akan sederet pertanyaan bisa tersalurkan dalam tulisan, atau mungkin juga lega karena menulis justru membuat saya lupa dengan beragam pertanyaan tersebut, yang siapa tahu jawabannya tidak sesuai ekspektasi dan justru akan membuat saya semakin bingung. Yang jelas, dengan saya menulis, the rage caused by the state of not being able to understand something can slowly vanish. So, now you may know why I took time to write this piece.





Leave a reply to Kezia R. S Cancel reply