Masih teringat dengan sangat jelas di benak. Saya membaca kabar tak terduga itu lewat grup WhatsApp tepat pada 30 September 2014 siang. Tengah duduk di bangku belakang taksi dalam perjalanan ke kantor, saya langsung tersentak. Kaget dan sedih berpadu dengan disorientasi.
Mata saya yang sedari tadi menatap liar ke padatnya jalanan saat itu hanya bisa memandang nanar ke arah kaca. Pikiran saya pun sontak menerawang selama perjalanan, membuat saya hampir mewek di taksi. Laiknya tengah merangkai tulisan di Microsoft Word, saya menekan tombol undo dalam otak, mencoba mengepulkan uap-uap memori sejenak.
Februari 2013. Kak Jo -Johanna Pauline- meminta saya untuk datang ke redaksi SOCCER usai menerima CV yang saya kirim melalui email. Saya dipanggil untuk dites dalam perihal tulis-menulis serta diwawancara langsung oleh Kang Jalu, wartawan sepak bola yang namanya sudah beredar luas. Ternyata, beberapa hari kemudian saya diterima sebagai jurnalis lepas media online untuk @duniaSOCCER. Senang? Tentunya bukan main! Kabar gembira ini bak suatu mimpi nyata. Saya menjadi bagian sebuah media besar nan istimewa yang perkembangannya telah saya rajin ikuti sejak masih berusia 10 tahun.
Saya pun mulai mengenal banyak sosok lain yang juga aktif menulis di duniaSOCCER, sebut saja Mas Irawan, Yosua, Redzi, Anju, Febri, Damar, dan Jerry. Bersama Kang Jalu dan Kak Jo (yang sayangnya hengkang beberapa bulan setelah saya masuk), kami semua adalah sebuah tim solid. Kehadiran Pitor dan Evans beberapa bulan kemudian turut menghiasi skuat kami.
Semakin banyaknya waktu yang saya habiskan di kantor membuat saya semakin mengenal dekat tim tabloid. Nama-nama ini tentunya tak bisa saya panggil dengan hanya sekadar nama, mengingat status (dan usia) mereka yang sudah senior. Mulai dari Mas Hanif, Mas Edy, Kang Asep, Mas Adit, Mas Ook, Mas Hilman, Kang Agus, Kang Ipul, Mas Yanto, Mas Pupung, hingga sang pemimpin redaksi, Mas Asis. Tim ini dilengkapi Bu Tuti sebagai “pengurus segalanya”.
Tak terhitung berapa malam yang sudah kami habiskan bersama untuk berjaga di kantor. Sebungkus nasi padang dan video-video random di YouTube menjadi sobat setia kami saat tugas malam. Saya yang tadinya hanya malu-malu di redaksi lambat laun berubah menjadi sosok yang malu-maluin. Kehangatan mereka semua sangat membekas meski eksistensi saya di situ baru beredar satu tahun delapan bulan.
Ruang redaksi juga telah berubah menjadi teman tersendiri, bahkan bisa disebut sebagai rumah kedua. Tak jarang saya menginap di sana bila sedang mengarungi shift malam. Ruang redaksi -khususnya di pojokan dekat meja Kang Jalu- menjadi tempat saya menghempaskan badan jika sedang suntuk kuliah. Pernah beberapa kali, saya menghabiskan malam Minggu di sana sendirian hingga pagi. Tak ada lagi serpihan rasa takut akan cerita-cerita soal makhluk astral lantaran mental saya yang sudah keburu kebal.
Meniti karier bersama duniaSOCCER membuka wawasan saya akan banyak hal. Beberapa nama senior yang sudah disebutkan di atas adalah kumpulan pembimbing teladan bagi saya selama menimba ilmu di sini. Segala kritik dan saran mereka membuat saya menjadi lumayan paham dengan dunia jurnalistik (dan pastinya rajin membuka KBBI). Pun saya belajar menata kata sedemikian rupa agar bisa menyajikan berita sepak bola yang ramah bagi mata pembaca.
Jujur, saya sangat menyesal karena menjelang momen #SOCCERpamit performa saya justru menurun drastis. Terbaginya konsentrasi dengan hal-hal di luar kerjaan membuat kinerja saya menurun dari biasanya. Mulai dari start yang lamban, kurang teliti, hingga membuat pelbagai artikel minimalis. Seandainya saja saya tahu bahwa eksistensi SOCCER akan berhenti dalam waktu dekat, tentu saya tidak akan membiarkan diri selalai itu. Seandainya, seandainya, ya, seandainya. Berulang kali saya mengulang kata “seandainya” hingga kata itu seakan tak bermakna lagi. Memang kalau datang duluan namanya bukan penyesalan, tapi pendaftaran.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih sekaligus permohonan maaf kepada keluarga besar SOCCER. Saya begitu bersyukur dapat dianugerahi kesempatan untuk memulai karier tulis-menulis bersama kalian, para insan yang telah bekerja keras dalam menghidupkan tabloid kesayangan saya. Meski baru bergabung dalam tempo waktu 1,5 tahun, percayalah, rasa sedih yang saya rasakan sama besarnya seperti kalian. Kehilangan yang harus diikhlaskan. Perpisahan yang harus direlakan.
Saya pun berangkat menuju sebuah kesimpulan bahwa kendati tak ada yang abadi, kenangan tak pernah mati. Ada yang namanya babak tambahan dalam pertandingan, ada juga momen comeback dalam kehidupan. Di lubuk hati terdalam, saya masih menyimpan harapan besar bahwa di balik peluit akhir yang sudah dibunyikan ini akan ada sebuah “extra time” yang lain bagi tabloid SOCCER. Semoga saja.
Rest in peace (for a while), SOCCER.









Leave a reply to Renungan Setahun Setelah Lulus Kuliah – Look, Who's (s)Talking? Cancel reply